KursusHP ServisHP Servis EMMC Ganti EMMC kursus teknisi handphone kursus reparasi handphone kursus servis handphone kursus bongkar pasang handphone kursus ganti LCD handphone kursus ganti baterai handphone kursus ganti kamera handphone kursus ganti flash handphone kursus ganti speaker handphone kursus ganti port charger handphone kursus ganti komponen handphone lainnya kursus teknisi handphone murah kursus teknisi handphone cepat kursus teknisi handphone bergaransi kursus teknisi hanpphone dekat

Senin, 11 Oktober 2010

Cetak SDM IT Indonesia: Kuantitas atau Kualitas?



Jakarta - Indonesia kekurangan sumber daya manusia di bidang IT, menurut pengamatan Prof Dr. Richardus Eko Indrajit, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer. Mari kita cermati lebih dalam dasar pengamatan tersebut dan solusi yang ditawarkan.

Indrajit menyebutkan, teknologi baru lahir setiap 6 menit sehingga diperlukan banyak SDM untuk menyikapinya. Entah dari mana angka tersebut diperoleh, tapi teknologi memang bermunculan begitu deras. Dalam hal bahasa pemrograman saja, 15 tahun lalu jumlahnya bisa dihitung dengan jari misalnya: Java, C, C++, dan lainnya.

Tapi kurang dari satu dekade belakangan ini telah menjamur begitu banyak bahasa pemrograman dan framework baru, baik yang menjadi solusi problem-problem spesifik seperti: Ruby(Web), Spring(Enterprise); atau yang menyajikan paradigma baru seperti: Scala (functional programming) yang menggantikan paradigma saat ini yang berorientasi obyek (object oriented programming).

Namun cepatnya 'kelahiran' diiringi juga dengan cepatnya 'kematian' sebagian besar teknologi tersebut. Teknologi akan mati ketika dunia industri tidak mengadopsinya. Seperti baru-baru ini lahir JavaFX skrip, sebuah alternatif pengembangan GUI (Graphical User Interface) untuk platform Java yang pemakaiannya lebih mudah dari SWING.

Sedikitnya aplikasi industri yang menggunakan teknologi ini membuat Oracle akhirnya menghentikan dukungan pengembangannya. Dalam menyikapi teknologi baru praktisi IT tidak hanya harus mempelajarinya dengan cepat, tapi juga harus bisa meyakinkan klien yang membayar aplikasi yang dibuat dengan teknologi itu.

Jadi menurut saya kuncinya disini bukanlah kuantitas sumber daya, tetapi kesiapan sumber daya itu untuk memilih, menyerap dan mengaplikasikan teknologi yang datang dan pergi. Kuantitas teknologi tidak harus dijawab dengan kuantitas SDM.

Indrajit juga menyatakan IT belum memiliki standar keprofesian seperti dalam dunia medis. Para praktisi IT yang tergabung dalam komunitas Agile Alliance (agilealliance.org) juga menyatakan hal senada. Mereka berusaha menjawab persoalan kenapa begitu banyak proyek IT gagal, baik gagal dalam produksi maupun gagal mencapai suatu standar kualitas.

Meski sudah menggunkan prinsip yang telah sukses diterapkan dalam dunia manufaktur perangkat keras (hardware). Komunitas ini merumuskan pendekatan baru yang menfokuskan pada aspek 'lunak' dari software.

Software tidak berhenti berubah sesudah selesainya proses produksi, kode akan terus berevolusi seiring perubahan tuntutan bisnis. Kualitas suatu proyek pada akhirnya juga ditentukan oleh kualitas kode yang ditulis.

Kode yang berkualitas adalah yang mudah dipahami dan dikembangkan. Kesadaran ini melahirkan berbagai ranah baru yang mendorong penulisan kode berkualitas, seperti: Design Patterns, Refactoring dan sebagainya.

Sumber lain menyebutkan, setiap 199 dari 200 pelamar kerja pemrograman ternyata tidak bisa menulis program. Sebagian pelamar bahkan memiliki gelar S2 dan S3. Inilah isu yang diangkat oleh sebuah gerakan bernama Software Craftmanship, sebuah pendekatan yang menitikberatkan kemampuan programmer dalam menulis kode program.

Aspek 'lunak' dari software membuat penggiat Software Craftmanship menggali inspirasi dari aspek-aspek kreatif di dunia musik dan beladiri. Sebagai contoh, musisi tidak cukup hanya belajar teori musik, tapi dia juga harus berlatih berulang kali dengan instrumen yang ingin dikuasainya.

Contoh lain seorang karateka harus berlatih jurus secara berulang-ulang untuk membiasakan diri dengan suatu teknik. Sayangnya praktisi IT masih harus langsung terjun ke arena dengan hanya berbekal pemahaman teoretik yang didapat dari aktifitas belajar, tanpa cukup bekal kefasihan yang didapat dari aktifitas berlatih.

Coding Kata, sebuah situs yang beralamatkan di www.codekata.pragprog.com, berusaha mengisi kekosongan aspek latihan tersebut. Coding Kata biasanya berupa sebuah problem pemrograman yang sudah dikenal dan sudah dipakai untuk latihan secara individu atau kelompok.

Karena problem dan solusinya sudah diketahui, programer bisa melatih aspek-aspek lain seperti penguasaan tools, kualitas kode, prinsip-prinsip desain dan sebagainya. Selain itu mulai merebak pula Coding Dojo, yaitu suatu forum pertemuan para programmer untuk berlatih bersama. Forum pertemuan ini melibatkan peserta secara aktif, ketimbang hanya mendengarkan ceramah secara pasif.

Alangkah baiknya bila aspek latihan tersebut juga disadari dan diadopsi oleh kalangan pendidik dalam menyiapkan strategi pengembangan SDM. Tidak cukup hanya memberikan teori, dan membiarkan mahasiswa berlatih dengan caranya sendiri. Latihan perlu diarahkan, baik dari segi output nya maupun segi prosesnya.

Lulusan yang kuat dalam segi teoretik dan terampil dalam segi praktis akan lebih cepat produktif dalam menjawab tantangan yang dipaparkan Indrajit sebelumnya. Fokus untuk meningkatkan kuantitas SDM IT di Indonesia selayaknya dibarengi juga dengan fokus untuk meningkatkan kualitas baik secara individu maupun secara kolektif di kalangan seprofesi.


*) Penulis, Irwan Syahrir merupakan seorang konsultan IT Indonesia yang saat ini berdomisili di Norwegia. ( eno / ash )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages