KursusHP ServisHP Servis EMMC Ganti EMMC kursus teknisi handphone kursus reparasi handphone kursus servis handphone kursus bongkar pasang handphone kursus ganti LCD handphone kursus ganti baterai handphone kursus ganti kamera handphone kursus ganti flash handphone kursus ganti speaker handphone kursus ganti port charger handphone kursus ganti komponen handphone lainnya kursus teknisi handphone murah kursus teknisi handphone cepat kursus teknisi handphone bergaransi kursus teknisi hanpphone dekat

Senin, 01 November 2010

Problem e-Gov: Between the Chair and Keyboard


ilustrasi (ist)

Jakarta - Pada artikel sebelumnya telah diurai dua dari empat permasalahan mengenai e-Government (e-Gov) di Indonesia. Kini, penulis kembali memetakan dua permasalahan utama lainnya yang masih menjadi batu sandungan.

3. Terlalu berfokus pada sistim transaksional, bukan pada proses bisnis/alur kerja.

Jika kita cermati satu per satu, sistim teknologi informasi yang dibangun di lingkungan instansi pemerintah sejak 10 tahun lalu, mayoritas masih pada sistim transaksional. Aplikasi KTP online, perizinan online, pajak online, dan lainnya, menjadi contoh dari sistim berbasis transaksional tersebut.

Di mana ada input data dari front end yang disimpan di dalam database, yang kemudian data-data tersebut diolah untuk berbagai kepentingan, baik untuk menghasilkan laporan, indikator kinerja, indikator pendapatan daerah dan lain sebagainya.

Pengembangan sistim transaksional seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, memang sudah memberikan keuntungan yang sangat luar biasa. Di mana data-data yang semula berserakan dalam bentuk kertas, sudah terkomputasi dalam bentuk elektronik di dalam sebuah sistim database--yang sudah barang tentu memberikan berbagai kemudahan dalam pengolahan selanjutnya.

Hanya saja masih sedikit yang menyadari, bahwa kegiatan pengelolaan pemerintahan adalah serangkaian proses bisnis yang dijalankan melalui serangkaian alur kerja. Data-data tadi merupakan efek dari rangkaian proses dan alur kerja tersebut.

Akibatnya adalah, meskipun pengolahan data sudah terkomputerisasi menggunakan sejumlah sistim yang luar biasa mahal, tapi proses bisnis dan alur kerja dari instansi pemerintahan masih tetap dijalankan secara manual.

Laporan yang dihasilkan dari sistim yang canggih, masih tetap harus dicetak di atas kertas, untuk didistribusikan oleh petugas dari meja ke meja seluruh pemangku kepentingan.

Kemudian, instruksi untuk melakukan sesuatu aktivitas yang terkait data tersebut, misalnya, tetap dilakukan melalui nota dinas yang juga dalam bentuk kertas yang diedarkan secara manual dari meja ke meja.

Kalau itu merupakan sebuah edaran yang berlaku umum, untuk mempercepat waktu dan menghemat proses pencetakan, maka cara yang paling gampang dan sering dilakukan adalah dengan menempel satu salinan di papan pengumuman.

Dengan demikian, meskipun pengolahan data sudah menggunakan sistim yang teramat canggih, tapi kalau kemudian dari data tersebut untuk menjadi sebuah instruksi atau kebijakan masih harus melalui proses bisnis/alur kerja manual, sampai kapanpun kehadiran berbagai sistim pengolahan data yang hebat tersebut tidak akan bisa berfungsi secara optimal.

4. Kurang memiliki pemahaman terhadap ekosistem TI secara utuh.

Pada hakekatnya, sebanyak dan seluas apapun keberadaan perangkat keras dan lunak yang dimiliki oleh satu instansi, baik itu dalam bentuk jaringan data, server, hingga aplikasi yang bernilai jutaan dolar, hanyalah bagian yang kurang begitu penting dari sebuah ekosistem TI.

Bagian dari ekosistim tersebut yang lebih penting adalah kebijakan, prosedur standar/protokol, dan yang terpenting adalah faktor manusia. Ketiga hal inilah yang menjadi penentu apakah perangkat keras dan lunak yang berharga mahal itu dapat memberikan manfaat maksimal bagi terwujudnya e-Government di Indonesia.

Mari kita coba bahas satu persatu.

Kebijakan

Kehadiran sejumlah perangkat keras dan lunak, hanya akan memiliki dampak signifikan jika disertai pula dengan hadirnya kebijakan yang mendukung pemanfaatan sistim tersebut. Contoh sederhana, untuk menjamin terlaksananya implementasi sistim pembuatan KTP secara online, harus didahului dengan hadirnya kebijakan yang mengikat seluruh pihak. Bahwa KTP yang sah hanyalah yang dibuat melalui sistim tertentu.

Atau misalnya, dalam sebuah sistim berbasis alur kerja, untuk menghindari dokumen harus dijalankan dari meja ke meja untuk mendapatkan persetujuan pejabat terkait, maka harus ada kebijakan yang mengesahkan konfirmasi elektronik, dengan cara menekan tombol 'setuju' atau lainnya, sebagai pengganti paraf atau tandatangan 'basah'.

Tanpa adanya kejelasan kebijakan atau aturan, pelaksana lapangan tidak akan memiliki dasar hukum bagi penggunaan sistim TI yang tentu saja akan mengancam pemanfaatan lebih lanjut dari sistim tersebut.

Prosedur Standar/Protokol

Sebuah implementasi sistim TI akan mengalami kekacauan luar biasa jika tidak ada sebuah prosedur operasional standar (Standard Operating Procedure/SOP) yang mengatur apa yang boleh dan tidak, siapa yang diberikan wewenang melakukan sesuatu, tingkatan wewenang apa saja yang diperlukan, serta kapan boleh dilakukan.

Mungkin terlihat ribet. Tapi prosedur standar ini menjadi sangat penting untuk menjaga konsistensi dan integritas sistim secara keseluruhan. Serta untuk memudahkan troubleshooting jika terjadi suatu masalah terhadap sistim tersebut.

Prosedur standar ini juga penting untuk menjaga akuntabilitas dari para pengguna sistim. Sehingga setiap aksi yang terjadi dari sistim tersebut, jelas siapa yang harus bertanggung jawab.

Manusia

Secanggih-canggihnya teknologi informasi yang dibeli dan dimiliki, kalau manusia yang menjadi penggunanya tidak memiliki cukup pengetahuan, kemampuan, dan yang lebih penting memiliki keinginan untuk memanfaatkan sistim tersebut. Semua upaya dan biaya luar biasa besar yang telah dikeluarkan menjadi nonsense.

Dalam dunia TI, dikenal sebuah pameo 'the problem sit between the chair and keyboard'. Artinya, manusia lah yang menjadi masalah terbesar dalam implementasi TI.

Namun entah kenapa, walaupun jelas manusia memiliki peranan terbesar dan paling menentukan, tapi dalam proyek-proyek pengadaan TI di pemerintah, justru hal ini yang paling banyak dilewatkan.

Perlu dipahami, bahwa perubahan cara kerja menjadi berbasis TI memberikan tantangan tersendiri bagi mereka yang masuk kategori gagap teknologi.

Bahkan dalam beberapa kasus, hadirnya sebuah sistim TI dirasakan sebagai ancaman terhadap eksistensi mereka, karena dianggap akan menggantikan fungsi mereka yang selama ini melakukan pekerjaan secara manual.

Selain itu, kehadiran sistim TI yang sangat canggih secara tiba-tiba bisa menciptakan ketakutan tersendiri bagi calon user yang kurang memiliki kemampuan. Kadang, karena mereka takut salah dalam menggunakan sebuah sistim, mereka memilih meninggalkan sistim yang sudah dibuat dengan susah payah tersebut.

"Lebih baik repot, daripada bikin kesalahan." Mungkin begitu prinsip mereka.

Salah satu contohnya, penulis pernah berkesempatan mengunjungi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan beraudiensi dengan Kepala Dinas Perhubungan dan Telematika NAD. Dalam pembicaraan tersebut, beliau mengisahkan bahwa saat recovery pasca tsunami, para lembaga donor dan LSM asing membawa begitu banyak perangkat lunak canggih untuk mengelola berbagai terkait dengan recovery.

Lalu setelah masa kerja BRR selesai, dan semua lembaga donor serta LSM itu harus pergi dari NAD, maka semua perangkat tersebut dihibahkan kepada Pemprov NAD. Namun ironisnya, karena proses hibah tersebut tidak disertai dengan proses pemberdayaan manusia yang memadai, akhirnya berbagai aplikasi canggih tersebut tidak pernah lagi digunakan.

Penyelesaian Masalah

Dari pemaparan sebelumnya, terlihat bahwa pekerjaan rumah pemerintah dalam upaya menciptakan e-Government masih cukup terjal. Untuk permasalahan pertama, sepertinya pemerintah perlu kembali melakukan evaluasi mengenai pengukuran kinerja instansi pemerintah, yang masih berfokus pada penyerapan anggaran.

Bukan berarti kita harus pelit dalam menyerap anggaran, tapi anggaran yang terserap tanpa hadirnya sebuah sistim yang berjalan dengan baik berarti pemborosan.

Selain itu, dalam hal pembuatan master plan teknologi informasi, pemerintah sebaiknya mengajak lembaga-lembaga yang tidak memiliki kepentingan bisnis. Sehingga master plan yang dihasilkan benar-benar berkualitas.

Hadirnya Master Plan yang berkualitas juga sekaligus akan menyelesaikan permasalahan kedua. Dengan perencanaan yang matang, maka implementasi TI yang terlalu besar atau terlalu kecil dapat diminimalisir. Dengan demikian anggaran negara yang berasal dari pajak rakyat bisa lebih efektif pemanfaatannya.

Untuk permasalahan ketiga, dengan sudah banyaknya instansi pemerintah yang memiliki sistim pengolahan data secara elektronis, sepertinya sudah saatnya instansi pemerintahan untuk mulai fokus pada transformasi proses bisnis dan alur kerja, dari sistim manual menuju sistim alur kerja yang elektronis.

Selain mendapatkan penghematan dari sisi waktu dan juga biaya cetak, sistim alur kerja elektronis akan meningkatkan akuntabilitas pengelolaan negara secara keseluruhan. Sebab, setiap langkah pelaksanaan kebijakan akan tercatat secara elektronis, beserta dokumen pendukungnya.

Dengan demikian kejadian seorang pejabat 'lupa' terhadap kebijakan yang pernah dia ambil--seperti banyak kita tonton dalam penyelidikan kasus korupsi, atau saat ribut-ribut soal kasus century--bisa dikurangi.

Agar semua itu bisa terwujud sempurna, pemerintah juga perlu memberikan perhatian lebih untuk menyiapkan kebijakan-kebijakan serta prosedur yang tepat untuk mendukung implementasi TI terkait e-Government ini.

Diharapkan kebijakan-kebijakan itu tidak berakhir menjadi sebuah 'tata niaga' yang sarat dengan kepentingan bisnis dari berbagai pihak yang terkait dengan implementasi TI di lingkungan pemerintahan.

Terakhir, pemerintah perlu membuat gerakan yang masif dan kontinu untuk menciptakan 'pergeseran budaya kerja' dari seluruh personil yang terlibat dalam pengelolaan negara ini. Dari yang berbasis manual, menjadi berbasis elektronis. Hal

ini tentu saja bukan pekerjaan yang ringan, tapi unsur manusia ini merupakan faktor penentu dalam suksesnya implementasi teknologi informasi, sehingga hal ini harus menjadi prioritas utama.

Gerakan 'pergeseran budaya kerja' ini bisa dalam bentuk pelatihan-pelatihan yang mencakup personil-personil yang terkait dalam operasional sebuah sistim TI, atau pun juga bisa dalam bentuk kampanye untuk meningkatkan kesadaran bahwa saat ini seluruh dunia sedang menuju sebuah sistim digital yang saling berinterkoneksi.

Akhir kata, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang menjadi penghalang, namun penulis yakin, kalau empat permasalahan di atas bisa dicarikan solusi untuk mengatasinya, niscaya terciptanya pengelolaan negara yang efektif dan akuntabel yang didukung oleh sistim e-Government terpadu, bukan lagi sekedar sebuah wacana. Tapi akan segera menjadi kenyataan.


*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dari Mochamad James Falahuddin, seorang praktisi teknologi informasi. Bisa dihubungi lewat redaksi@detikinet.com atau mochamad.james@codephile.com.



( rou / rou )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages