KursusHP ServisHP Servis EMMC Ganti EMMC kursus teknisi handphone kursus reparasi handphone kursus servis handphone kursus bongkar pasang handphone kursus ganti LCD handphone kursus ganti baterai handphone kursus ganti kamera handphone kursus ganti flash handphone kursus ganti speaker handphone kursus ganti port charger handphone kursus ganti komponen handphone lainnya kursus teknisi handphone murah kursus teknisi handphone cepat kursus teknisi handphone bergaransi kursus teknisi hanpphone dekat

Sabtu, 29 Januari 2011

Simalakama Penurunan Tarif Interkoneksi Telepon


ilustrasi (ist)

Jakarta - Penurunan tarif interkoneksi dalam persentase besar-besaran tentunya akan membuat biaya halo-halo lintas operator semakin murah. Namun di sisi lain, penurunan yang terlalu besar juga bisa berdampak pada mandeknya pembangunan jaringan layanan.

Di awal 2011 ini, operator perlahan mulai mengimplementasikan skema penarifan interkoneksi yang baru. "Sesuai kesepakatan, akan diberlakukan untuk trafik Januari," ungkap Sekjen Asosiasi Kliring Telekomunikasi (Askitel) Rakhmat Junaidi kepada detikINET, Jumat (28/1/2011).

Penurunan tarif interkoneksi akhirnya telah diputuskan sejak mendapatkan masukan dari konsultan yang ditunjuk Ditjen Postel Kementerian Kominfo yaitu TriTech. Analisa tersebut dilakukan setelah mendapatkan masukan dari semua operator telekomunikasi secara tertulis.

"Sudah ditetapkan, penurunannya cuma enam persen," kata Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono. "Kita juga masih menunggu, saya dengar mereka masih mengerjakan PKS (perjanjian kerja sama)-nya," timpal M Ridwan Effendi, Anggota BRTI lainnya.

Hasil hitungan Tritech sebelumnya untuk layanan seluler dalam melakukan panggilan lokal sekitar 3,94%, yakni dari Rp 261 pada 2007 menjadi Rp 251 dalam hitungan baru. Sementara untuk SMS sebelumnya diperkirakan ada penurunan sebesar 11,84% yakni dari Rp 26 dua tahun lalu menjadi Rp 23.

Rencana penurunan interkoneksi 6% ini sempat dinilai sejumlah kalangan tidak berpihak kepada masyarakat pengguna telekomunikasi secara luas. Sebab, penurunan biayanya tahun ini hanya single digit. Sementara dua tahun sebelumnya, penurunan bisa mencapai 20%-40%.

Dengan penurunan tarif interkoneksi dua tahun lalu, hasilnya harga ritel terpangkas hingga 70% dari US$ 15 sen menjadi US$ 2 Sen dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tarif termurah di Asia. Dengan penurunan yang hanya single digit, tarif yang lebih murah rasanya tak akan begitu dirasakan masyarakat.

"Sebelum tarif interkoneksi turun pun Telkomsel sudah menurunkan tarif ke pelanggan. Jadi bisa dikatakan penurunan 6% tidak berdampak langsung ke tarif ritel karena sebelumnya pelanggan sudah menikmati tarif di bawah cost," papar Aulia Ersyah Marinto, Deputy VP Corporate Secretary Telkomsel.

Sejumlah kalangan beranggapan langkah regulator mempertahankan penurunan biaya interkoneksi di kisaran single digit tidak akan memiliki dampak kepada lanskap persaingan. Bahkan industri telekomunikasi pada 2011 ini dikhawatirkan akan tertekan karena sulitnya membuka pasar baru.

Analis keuangan sempat memperkirakan jika biaya interkoneksi dipangkas mencapai dobel digit maka akan membuka ruang kompetisi bagi operator kecil karena bisa menawarkan tarif lintas operator yang lebih murah.

Direktur Pemasaran XL Nicanor V Santiago pun mengakui jika menginginkan adanya kompetisi yang ketat maka biaya interkoneksi harus dipangkas lebih besar. "Biaya interkoneksi terpangkas akan membuat suasana kompetisi menjadi lebih keras. Tetapi ini justru bagus karena bisa menghindari kejenuhan karena selama ini untuk segmen tertentu perang sudah masuk titik jenuh," jelasnya.

Simalakama

Interkoneksi merupakan suatu keharusan yang diamanatkan oleh UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi yang diatur lebih lanjut dalam Permenkominfo No. 8/2006 tentang Interkoneksi. Namun sejauh ini, apakah implementasinya sudah sesuai dengan harapan?

Pada awal diberlakukannya interkoneksi berbasis biaya (cost based) sebagai dasar penghitungan tarif ritel layanan telekomunikasi, hampir semua operator berlomba menawarkan tarif dengan banyak nol--atau dengan kata lain menawarkan tarif yang terkesan sangat murah.

Namun pada kenyataannya, tarif murah yang ditawarkan tersebut merupakan tarif antarsesama pengguna operator tersebut (on-net). Sementara tarif lintas operator (off-net) menjadi tinggi.

Ini menunjukkan bahwa kompetisi sesungguhnya telah mengubah pola panggilan menjadi ekslusif, sehingga memacu setiap orang untuk memiliki layanan dari setiap operator yang menawarkan tarif on-net murah (multi SIM Card).

Bahkan, untuk lebih menarik pengguna, operator memanfaatkan rezim Sender Keeps All (SKA) untuk interkoneksi layanan SMS--dengan tarif promo yang sangat murah, bahkan gratis.

Terjadi pergeseran moda komunikasi jika antar sesama pengguna satu operator menggunakan panggilan telepon, namun jika antar operator maka menggunakan layanan pesan layanan singkat (SMS).

Kondisi ini memang menguntungkan masyarakat yang menikmati tarif yang lebih murah, namun untuk sementara, karena bisa berimbas kepada industri telekomunikasi menjadi kurang tertata baik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan teledensitas juga berdampak positif bagi perekonomian karena meningkatkan efisiensi dari arus informasi yang bertambah lengkap.

Seperti yang sering kita lihat sehari-hari, seorang tukang sayur telah mempunyai telepon seluler sehingga bisa melayani pembelinya dengan lebih baik. Atau seorang tukang ojek bisa ditelepon untuk jasa antar jemput pada waktu tertentu. Ini hanya contoh kecil dari bergeraknya roda ekonomi karena membaiknya arus informasi.

"Namun apakah kita masih akan melihat perang tarif yang berkelanjutan dan tarif akan menjadi lebih murah lagi?" tanya Aulia.

Tarif layanan telekomunikasi akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan operator untuk mengembangkan layanannya yang ujungnya berdampak langsung terhadap teledensitas dan penyebaran jasa telekomunikasi sampai pelosok-pelosok di berbagai daerah di Indonesia, yang memiliki hak sama untuk mendapatkan manfaat dari industri telekomunikasi.

Sejauh ini diperkirakan terdapat sekitar 200 juta pelanggan yang dilayani oleh sebelas operator seluler dan fixed wireless access (FWA). Ini berarti di antara setiap 100 penduduk Indonesia, sebanyak hampir 80 penduduk telah memiliki telepon seluler dan FWA.

Akan tetapi, angka ini dinilai relatif overstated karena banyak pengguna telepon seluler dan FWA, terkonsentrasi hanya di kota-kota besar yang memiliki telepon seluler lebih dari satu layanan operator atau multi SIM Card.

Namun, dengan tingkat penetrasi yang sudah relatif tinggi, peluang pertumbuhan bagi operator menjadi lebih terbatas. Ini yang menjadi simalakama regulator dalam menetapkan besaran penurunan tarif interkoneksi baru.

"Untuk melebarkan jangkauan ke daerah lainnya yang tersisa hanya daerah yang notabene minus dan lokasinya tersebar, bisa jadi high risk investment," kata sejumlah petinggi operator besar.

Tarif yang sangat murah tak dipungkiri memang menguntungkan konsumen untuk sementara waktu. Namun di sisi lain, menurut mereka, tarif yang murah tidak memberikan imbal balik yang memadai untuk operator guna menjaga kesinambungan usaha dan pemerataan layanan sampai ke pelosok negeri.

"Perlu diingat bahwa industri telekomunikasi merupakan industri yang padat modal dan sarat dengan teknologi dengan lifetime yang semakin pendek. Semakin pesat perkembangan teknologi komunikasi, operator perlu melakukan re-investasi supaya tetap dapat melayani konsumen dengan layanan yang lebih variatif," jelasnya.
( rou / wsh )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages